Jumat, 23 Januari 2009

Angkylosing Spondilitis

Ankylosing Spondylitis.

Sub Bagian Spine

Bagian/ SMF Bedah Orthopaedi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Pendahuluan.

Pada abad ke 2 Hippocrates mengenal Ankylosing spondylitis (AS) berasal dari rheumatoid arthritis. Realdo Colombo tahun 1559 pertama kali mendeskripsikan AS pada literature dan terjadinya perubahan pada tulang skeletal dikemukakan oleh Bernard Connor pada tahun 1691. Benyamin Brodie pada tahun1818 menemukan adanya hubungan iritis dengan AS.Tahun 1973 ditemukan hubungan antara AS dengan gen HLA B-27.Istilah (AS) adalah berasal dari bahasa yunani dimana ankylos berarti kekakuan dari sendi, dan spondylos berarti vertebra. AS adalah suatu penyakit tersendiri yang di karakteristik oleh inflamasi dari multiple artikularis dan para artikular struktur, sering sebagai suatu ankylos tulang.

Spondylitis menunjukan suatu proses inflamasi pada satu atau lebih vertebra. AS biasanya di klasifikasikan sebagai bentuk kronis dan progresif dari seronegatif arthritis. Predileksi dari AS ini adalah pada aksial skeletal, terutama mengenai sendi sakroiliak dan pada sendi facet pada spinal dan jaringan lunak paravertebra.

Manifestasi ekstraspinal dari penyakit ini mencakup perifer arthritis, iritis, pulmonary fibrosis, dan sistemik.

Definisi.

Ankylosing spondylitis (AS) adalah suatu penyakit kronis, dimana terjadi gangguan inflamasi multi system pada sendi sakroiliak dan aksial skeletal yang di karakteristik dengan seronegatif spondyloarthropathy. Penyakit ini sering ditemukan bersama-sama dengan gangguan seronegatif spondyloarthropathy yaitu reaktif arthritis, psoriasis, juvenile kronik arthtritis, colitis ulcerative dan chronn disease.

Etiologi.

Etiologi dari AS adalah tidak diketahui dengan pasti. Genetik sangat mempengaruhi timbulnya penyakit ini. Hubungan langsung antara AS dan mayorhistokompabiliti Human Leukosit Antigen (HLA) B-27 adalah menentukan.

Adanya anamnesa mengenai keluarga yang menderita penyakit yang sama.

Kira-kira 90 – 95 % penderita AS mempunyai antigen jaringan HLA B-27, dibandingkan dengan 7 % dari populasi seluruhnya.

Pengaruh yang pasti dari HLA B-27 dalam mempresipitasi terjadinya AS tetap tidak diketahui, bagaimanapun ini dipercaya bahwa kejadiannya menyerupai atau bertindak sebagai reseptor untuk memacu antigen seperti bakteri.

Genetik.

95 % orang Eropa (putih) yang menderita AS mempunyai gen B-27. Kejadian AS di seluruh dunia hampir selalu diikuti dengan gen B-27. Sebagai contoh gen B-27 tidak terdapat pada suku Aborigin di Australia dan mereka tidak menderita AS. Prevalensi yang tertinggi dari AS dan B-27 terdapat pada penduduk asli Amerika (Indian). Frekwensi yang tinggi dari gen B-27 dengan fakta bahwa gen ini memberikan imunitas terhadap virus, sebagai contoh banyak orang Indian Amerika yang membawa gen B-27 dapat terbebas dari menderita Small pox dan virus lainnya. Sampai saat ini dikenal 23 tipe dari gen B-27, beberapa tipe melindungi terhadap AS dan beberapa tipe yang menyebabkan AS. Kurang dari 10% dari seluruh populasi dengan gen B-27 berkembang menjadi AS dan dipercayai juga bahwa gen lain dapat menyebabkan AS. Beberapa grup didunia ini dapat berkembang AS tampa gen B-27, contohnya di Libanon dan Kuwait penderita AS hanya 26% saja yang gen B-27 positif, di Zimbabwe 13 penderita AS positif B-27, di Gambia penderita AS sangatlah jarang. Dari sinilah terlihat gen lain juga berperan dalam menyebabkan AS. Gen B-27 bukan hanya satu-satunya gen yang menyebabkan AS, dalam hal ini bekerja kombinasi dengan gen lain untuk menentukan penyakit.

Sistem Imun

Sel-Sel Imun

Sistem imun berperan dalam perlindungan tubuh terhadap adanya infeksi. Sistem ini terbentuk dari jutaan klon limfosit, yaitu sekitar 2 x 1012. Sel-sel limfosit pada setiap klon memiliki reseptor permukaan yang unik yang memungkinkan berikatan dengan determinan antigen yang mempunyai susunan sangat spesifik, setingkat atom dalam susunan molekul. Ada dua kelompok limfosit, sel B, yang dihasilkan oleh sumsum tulang dan menghasilkan antibodi, serta sel T, yang dihasilkan oleh kelenjar timus, dan membentuk respon imun seluler.


Respon Imun Seluler

Respon imun seluler menghasilkan sel-sel khusus yang akan bereaksi dengan antigen asing yang terdapat pada permukaan sel tubuh lainnya. Sel tersebut, sebagai contoh, akan membunuh sel tubuh yang terinfeksi virus yang memiliki antigen virus di permukaan selnya, sehingga sel tersebut akan dimusnahkan sebelum virus bereplikasi. Pada contoh lain, sel imun tersebut menghasilkan sinyal-sinyal kimia yang akan mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroorganisma.

Reseptor Sel T dan Sub Kelasnya

Terdapat sedikitnya dua sub kelas yang berbeda pada sel T, yaitu Cytotoxic T cell dan Helper T cell. Cytotoxic T cell dengan segera membunuh sel yang terinfeksi, terutama oleh virus. Helper T cell membantu aktivasi sel B untuk membentuk antibodi dan makrofag untuk menelan dan merusak mikroorganisma. Kedua jenis sel T membentuk reseptor, yang strukturnya serupa dengan antibodi, pada permukaan selnya.

Molekul MHC dan Penyajian Antigen pada Sel T

Reseptor tersebut di atas dapat mengenali fragmen-fragmen protein asing yang dimunculkan pada permukaan sel tubuh oleh molekul MHC. Kedua sel T tersebut dapat mengenali antigen dalam bentuk fragmen peptida yang dibentuk melalui degradasi antigen protein asing di dalam sel target, dan keduanya, bergantung pada kemampuan molekul MHC ini-suatu protein khusus-dalam kemampuannya mengikat fragmen protein asing, membawanya ke permukaan sel, dan menyajikannya kepada sel T.

Protein-protein MHC ini dihasilkan oleh kelompok gen-gen yang dikenal dengan istilah major histocompatibility complex (MHC). Pada manusia MHC disebut juga antigen HLA (human-leucocyte-associated antigens), karena pertama kali didemonstrasikan pada lekosit.

Kelas Molekul MHC

Molekul MHC, yang terdiri dari kelas I dan kelas II, mempunyai peran yang sangat penting dalam menyajikan antigen protein asing kepada Cytotoxic T cell dan Helper T cell. Molekul MHC kelas I dihasilkan oleh hampir seluruh sel tubuh manusia, molekul MHC kelas II hanya dihasilkan oleh beberapa sel saja yang dapat berinteraksi dengan Helper T cell, yaitu limfosit B dan makrofag.

Frekwensi.

Di Amerika Serikat frekwensi dari AS diperkirakan 0,1 – 0,2 % dalam populasi umum.

Di Internasional frekwensinya hampir sama dengan frekwensi di Amerika Serikat.

Insidensi.

Onset dari penyakit ini dalam usia 10 tahun dan jarang sesudah umur 30 tahun. Tetapi pada bentuk yang juvenile dapat timbul pada usia sebelum 10 tahun dan bersama-sama dengan pauciartikular arthritis.

Mortalitas dan Morbiditas.

Nyeri kronis dan kekakuan adalah keluhan paling umum pada penderita dengan AS. Lebih dari 70 % penderita dilaporkan nyeri sepanjang hari dan kekauan sendi. Keluhan lain yaitu fatique, terjadi kira-kira 65 % dari penderita. Banyak dilaporkan dengan fatique bersama-sama dengan meningkatnya nyeri, kekakuan dan penurunan kapasitas fungsional. Masalah mobilitas terjadi pada AS kira-kira 47 % penderita ,ketidak mampuan ini berhubungan dengan lamanya penyakit, arthritis perifer, gangguan pada cervical spine, timbulnya gejala pada umur muda. Banyak penderita dapat bekerja setelah onset dari gejalanya.

Problem emosi dihubungkan dengan penyakit ini kira-kira 20 % penderita, kejadian depresi umumnya pada wanita.

Peningkatan rata-rata dari mortalitas di hubungkan dengan AS adalah jarang. Kematian secara umum dapat disebabkan penyakit yang sudah berjalan lama dengan manifestasi ekstra artikular seperti blok jantung, atau penyakit yang menyertai seperti inflammatory bowel disease.

Ras.

Prevalensi AS rendah pada kulit hitam dan tinggi pada kulit merah atau Indian.

Sex.

AS primer mengenai pada pria muda,.

Rasio pria : wanita adalah 4-10 : 1.

Prevalensi pada wanita lebih tinggi daripada yang dilaporkan ,dan penyakit bisa tidak diketahui karena sulit didiagnosa pada wanita.

Umur.

Mengenai pria muda, puncak umur dari onset penyakit 15-35 tahun, dengan umur rata-rata 26 tahun. Dalam kira-kira 15-20 % penderita penyakit ini mulai pada dekade ke 2 kehidupan. 10 % onset terjadi pada penderita dengan umur lebih dari 39 tahun.

Jika keluhan berkembang pada individu dibawah umur 16 tahun dinamakan juvenile onset spondylitis. Dari hip dan sendi perifer terkena lebih sering dan lebih berat dibandingkan dewasa.

Anatomi.

Tempat klasik pertama pada AS pada SI join diikuti thorakolumbal dan lumbosakral.

Semakin progresif bagian tengah lumbal, upper thorakal dan servikal akan terpengaruh.

Meskipun karakteristik pola penyakit kearah atas dari spine ,tetapi hal ini tidak selalu ditemukan.

Secara umum tipe atypical lebih sering terjadi pada wanita meskipun penyakit spinal tanpa melibatkan SI join tidak lazim pada ke dua jenis kelamin.

Patofisiologi.

Dasar lesi patologi dari AS terjadi pada tempat enthesis, dimana merupakan tempat melekatnya ligament ketulang, tendo dan kapsul joint. Enthesopathy merupakan hasil dari inflamasi, dan kemudian terjadi perubahan kalsifikasi dan osifikasi pada dan sekitar enthesis. Inflamasi terjadi dengan infiltrasi sel dari lymphosit, plasma sel dan polymorphonuklear lekosit bersama-sama dengan erosi dan eburnasi dari tulang sub ligament. Proses biasanya mulai pada sakroiliak joint. Tempat Enthesopathy lainnya ialah krista iliaka, tuberositas iskial, greater trokhanter, patela dan kalkaneal. Dalam jaringan lunak para vertebra lesi bermanifestasi sebagai pembentukan tulang baru dalam lapisan luar dari anulus fibrosis intervertebra disk, daerah pinggir dari disk di invasi oleh jaringan granulosa hiperemis yang muncul dari tulang sub kondral, jaringan inilah yang menggantikan disk fiber dengan tulang baru. Dalam synovial joint, terlihat khronis proliferatif synovitis yang tidak dapat dibedakan dari rhematoid arthritis. Bagaimanapun, tulang subkondral dan kartilago sudah terinvasi dengan jaringan reaktif yang berasal dari tulang yang mana hal ini tidak ditemukan pada rhematoid arthritis. Fibrosis kapsul dan ankylos tulang cenderung terjadi. Penbetukan jembatan tulang antara vertebra yang bersebelahan ( syndesmophyt ) dan progresiv osifikasi dari kapsul joint ekstra spinal dan ligament adalah karakteristik dari penyakit ini.Tidak seperti rhematoid arthritis, panuus tidak terjadi.

Klinis.

Anamnesa. Gejala tersering adalah low back pain biasanya pada pertengahan sacrum menjalar keinguinal, pantat dan turun kekaki. Penderita juga mengeluhkan kekakuan sendi pada pagi hari.

Makin progresif penyakit akan mempengaruhi rongga dada dimana ekspansi dari dada menjadi terbatas dengan terlibatnya sendi costovertebra. Ankylosing pada servikal terjadi belakangan, dan akhirnya terjadinya tulang belakang yang kaku dan hilangnya lengkungan dan pergerakan.

Kunci dari anamnesa yang menunjukan AS adalah :

- Onset LBP insidius.

- Onset dari simptom terjadi lebih muda dari 40 tahun.

- Adanya symptom lebih dari 3 bulan.

- Simptom menjadi buruk pada pagi hari atau bila tidak melakukan aktivitas.

- Perbaikan symptom bila melakukan latihan.

Pemeriksaan fisik. Hilangnya fleksi lateral dari vertebra lumbal.

Kondisi kronik pada spine dapat menurunkan ROM dan terjadi fusi pada bodi vertebra, terkenanya servikal dan upper thorakal dapat menyebabkan fusi pada leher dan menyebabkan posisi fleksi sehingga penderita terbatas pergerakan lehernya dan tidak dapat melihat lurus kedepan.

Fokus dari pemeriksaan fisik adalah pada waktu aktif ROM dan Pasif ROM pada aksial dan sendi perifer. Nyeri pada SI join adalah umum, enthesis perifer sering diidentifikasi dengan nyeri dan bengkak pada tendon dan insersi ligamen.

Manifestasi ekstraartikular diperiksa dengan pemeriksaan spesifik ( misal: ophtalmologi, kardio, dan GIT). Akut anterior uveitis terjadi pada 20-30 % dari penderita dengan AS,gejalanya unilateral dan terdiri dari nyeri,kemerahan, photophobia, peningkatan lakrimasi dan pandangan kabur. Penyakit kardiovaskular terjadi kira-kira 10 % penderita AS,terdiri dari aortitis dan fibrosis. Inflamatory bowel disease sering terjadi pada penderita AS. Test khusus dapat dilakukan seperti touching toe, schober test dan pengukuran ekspansi dada, wall test.

Laboratorium.

Diagnosa dariAS tidak tergantung pada data laboratorium.

Peningkatan LED dan CRP ditemukan kira-kira 75 %, dan ini di gunakan sebagai aktivitas dari penyakit dan respon terhadap pengobatan.

Leukositosis ringan, anemia normositik normokrom, peningkatan gama globulin, RF negative dapat ditemukan pada AS.

HLA B-27 ditemukan pada 95 % penderita AS.

Imaging.

Radiografi. Pda proses inflamasi terjadi perubahan pada SI joint dan spine. Sakroiliitis bilateral terjadi erosi tulang dan sklerosing dari joint. Fibrosis, osifikasi, terjadi jembatan syndesmophyte.

MRI. Dilakukannya MRI pada penderita bila berkembang menjadi bowel dan blader disfungsi untuk menilai terjadinya secondary syndrome spinal stenosis.

Kriteria diagnostik.

Kriteria spesifik untuk mendiagnosa AS dikembangkan pada konfrensi rematik disease di Rome dan New York dan dihasilkanlah kriteria Rome (1963) dan kriteria New York (1968). Walaupun keseluruhan kriteria dapat di pergunakan, tetapi keterbatasan dalam pengenalan dan overlapping antara klinik dan radiologi dari variasi seronegatif spondyloarthropathy dapat mempengaruhi diagnosa.

Kriteria Rome (1963) : AS didiagnosa jika terjadi bilateral sakroiliitis bersama dengan sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut :

- Low back pain dan stiffness lebih dari 3 bulan.

- Nyeri dan stiffness pada daerah thoraks.

- Terbatasnya gerakan pada daerah lumbal.

- Anamnesa adanya bukti dari iritis atau sequelenya.

Kriteria New York (1968) : AS didiagnosa bila terjadi grade 3-4 bilateral sakroiliitis bersama dengan sekurangnya 1 dari kriteria klinik atau jika grade 3-4 unilateral atau grade 2 bilateral sakroiliitis bersama dengan 1 kriteria klinik atau dengan kriteria klinik 2 dan 3. Mungkin suatu AS jika grade 3-4 bilateral sakroiliitis tanpa satu kriteria dibawah.

1. Keterbatasan pergerakan dari lumbal spine dalam fleksi anterior, fleksi lateral, dan ekstensi.

2. Riwayat nyeri atau adanya nyeri pada hubungan thorakolumbal atau dalam lumbal spine.

3 Keterbatasan dari ekspansi dada 1 inchi atau kurang.

Terapi.

Obat.

Tidak ada treamen definitive yang unggul untuk penderita AS, diagnosa dini dan pengetahuan penderita ttg penyakitnya adalah penting.

NSAID digunakan pada umumnya untuk menghilangkan nyeri dan menurunkan proses inflamasi.Laporan mengenai penggunaan aspirin terbatas.steroid oral tidak digunakan pada pengobatan jangka panjang. Sulfalazine dilaporkan efektif pada beberapa penderita dengan gangguan perifer,dan juga digunakan pada inflammatory bowel disease.

Setelah penderita teridentifikasi manifestasi ekstra artikular, diberikan pengobatan yang benar atau merujuk ke spesialis yang berkompeten.

Operatif.

Tidak ada terapi operatif yang paling unggul. Penderita dengan fusi pada daerah servikal atau upper thorakal dapat mengalami gangguan pada posisi untuk memandang, makan, kekacauan posisi badan. Pada penderita ini dapat dilakukan ekstensi osteotomi pada servikal spine. Prosedur ini sulit, bagaimanapun bila berhasil dilakukan dapat memberikan pergerakan mendekati semula. Penderita yang berkembang menjadi disfungsi bowel dan blader harus segera dievaluasi dengan MRI untuk menilai kemungkinan terjadinya cauda equine syndrome secondary yang menyebabkan spinal stenosis. Adanya cauda equine syndrome memerlukan tindakan operatif emergensi dalam 48 jam untuk mencegah hilangnya fungsi permanen. Penderita dengan fusi dari spine yang mengalami perubahan dalam posisi harus menjadi perhatian dan dipertimbangkan untuk terjadinya fraktur,tindakan operatif dan stabilisasi mungkin diperlukan untuk mencegah defisit neurologi. Penderita dengan gangguan disendi panggul mungkin diperlukan total hip arthroplasty. Setelah operasi,heterotropik bone formation dapat dikurangi dengan menggunakan indometasin atau radio terapi.

Aktivitas.

Program latihan yang benar adalah penting sebagai komponen pengobatan AS. Merujuk ke ahli fisioterapi atau rehabilitasi diperlukan untuk membantu penderita melakukan program latihan yang benar.

Daftar Pustaka.

1. Louis Solomon ; Apleys System of Orthopedics and Fractures ; edisi 8 ; Oxford University Press Inc ; hal 58-61 tahun 2001.

2. Robert Bruce Salter ; Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal system ; edisi 3 ; William and Wilkin ; hal 242-245 tahun 1999.

3. Jeffrey M Spivak et all ; Orthopaedics A Study Guide ; Edisi internasional ; Mc Graw-hill ; hal 365-367 tahun 1999.

4. Esses I. Stephen ; Textbook of Spinal Disorder ; J.B. Lippincott Company Philadelphia ; hal 248-252 tahun 1995.

5. Humpreys Craigs ; Ankylosing Spondylitis ; Journal Emedicine ; 26 February tahun 2002.

6. Wilfred C G ; Ankylosing Spondylitis ; Journal Emedicine ; 27 maret 2002.

Senin, 05 Januari 2009

SPINE TUBERCULOSIS

Posterior Approach in Sugery of Spondylitis TB

at Hasan Sadikin Hospital

Dr. Rahim.A.H., M.D., M.Epid

Spine Section

Department of Orthopaedic & Traumatology Hasan Sadikin Hospital Bandung

Indonesia

Abstract

Background

Tuberculosis still remain a serious worldwide problem. Tuberculous spondylitis is the commonest form of skeletal tuberculosis and it constitutes about 50 percent of all cases of tuberculosis of bones and joint.

The most common sites are the lower thorax and upper lumbar vertebrae. Kyphosis has been a common complication in patient treated with chemotherapy alone.

The posterior approach is the most common approach to the thoracolumbar spine. Providing access to spinal cord, cauda equine and intervertebral discs, it can expose the posterior elements of the spine; the spinosus processes, laminae, facet joint and pedicles. The approach is through the midline and it may be extended proximally and distally.

Material and Method

This is review of Tuberculous Spondylitis patients that hospitalized at Orthopedic and Traumatology Departement, Hasan Sadikin General Hospital Bandung, which underwent surgical treatment by posterior approach during January 2000 until December 2004. A retrospective study of 130 patients was performed. The data was collected through medical record.

Result

Operative treatment was perform to tuberculous spondylitis patients, who were admitted and under went for surgery at Hasan Sadikin General Hospital from January 2000 to December 2004. From this study, there were 130 tuberculous spondylitis patients, consist of 34 men (26,2%) and 96 women (73,%). Age of patients were between 9 to 61 years old and the most common age was 24 years old. Vertebral level of tuberculous spondylitis in this study are cervical 3 patients (2,3%), thoracal 64 patients (49,2%), lumbar 49 patients (37,7%) and multiple 14 patients(11,2%). The preoperative neurological condition are 5 patients (3,8%) with frankle A, 4 patients (3,1%) with frankle B, 13 patients (10%) with frankle C, 20 patients (15,4%) with frankle D and 85 patient (67,7%) with frankle E. Operative treatment by posterior approach were done in 111 patients (86,2%)

Discussion

The option for anterior or posterior approach is depend on selected case. The choice of approach is depend on: the surgeon preference and experience, the appropriateness of operating room environment as well as the patient age and medical condition. Additional considerations are: number of segment involved, the primary pathological process and signs of neural compression. There are also advantages and disadvantages of anterior approach compare to the posterior approach.

Conclusion

Primary debridement, stabilization by posterior approach was a one technique in treatment for tuberculous spondylitis and gives good result to prevent neurological and other complication.

Keyword : Tuberculous Spondylitis, posterior approach.


Research analyzes if bariatric weight reduction helps improve low back pain symptoms

13 May 200

The prevalence of both obesity and back pain in developing nations has reached alarming levels. According to recent statistics, more than one third of US adults – over 72 million people were obese in 20052006. Of these, 33.3% were men and 35.3% were women. Especially alarming is that obesity has not decreased among teenagers – the rates remain essentially unchanged in 2005-2006 from the 2003-2004 estimates, at 17%.

Obesity is defined as a body mass index (BMI) of 30 or greater. The consequences of obesity on the human body can be devastating. It puts people at increased risk for many diseases and conditions, most notably: hypertension, Type 2 diabetes, coronary heart disease, stroke, some types of cancer, and gallbladder disease. There has been less research on the effects of obesity on the musculoskeletal system.

An estimated 75 to 85 percent of all Americans will experience some form of back pain during their lifetime. About 50 percent of all patients who suffer from an episode of low back pain will have a recurrent episode within one year. While it is well-known that that obese individuals experience a higher rate of hip and knee arthritis, little is known about its effect on lumbar spinal degeneration.

While obese patients with back pain are frequently advised to lose weight, the association between these medical conditions remains unproven. In order to assess the relationship of obesity to low back pain, research was undertaken on morbidly obese patients with low back pain who underwent gastric bypass surgery.

Researchers at the University of Southern California analyzed the outcome of 38 consecutive patients with low back pain who underwent bariatric surgery over a period of six months. The results of this study, Prospective Assessment of Axial Back Pain Symptoms before and after Bariatric Weight Reduction Surgery, were presented by Paul Khoueir, MD, on April 29, 2008, during the 76th Annual Meeting of the American Association of Neurological Surgeons in Chicago. Co-authors are Mary Helen Black, MS, Peter F. Crookes, MD, Namir Katkhouda, MD, Howard S. Kaufman, MD, and Michael Y. Wang, MD.

Preoperative and postoperative data analyzed at 12 months included age, weight, body mass index (BMI), Back pain intensity – visual analog scale (VAS), quality of life questionaire (SF-36 Health Survey), and disbaility scores – Oswestry Disability Index (ODI). Paired t-tests and multiple regression techniques were used to assess differences in subject characteristics and outcomes. Additional patient demographics:

  • Thirty patients were female and eight were male
  • The age ranged from 20 to 68 years (mean 48.4 ± 10.1)

The following outcomes were noted postoperatively:

  • There was a decrease in mean weight from 144.52 ± 41.21 kg preoperatively to 105.59 ± 29.24 postoperatively
  • There was a decrease in BMI from 52.25 ± 12.61 kg/sq m preoperatively to 38.32 ± 9.66 postoperatively
  • The mean reported pain scale decreased by 44 percent
  • SF-36 physical health component increased by 58 percent
  • SF-36 mental health increased by 6 percent
  • Patient postoperative ODI score for physical disability decreased 24 percent


“Although past research has certainly shown that obesity is a risk factor for poorer outcome in patients undergoing spine surgery, this study provides evidence that substantial weight reduction following bariatric surgery results in moderate reductions in preexisting back pain within six months of weight loss. And this effect does not appear to be the result of the overall improvement associated with the patient’s well being. While this initial research is promising, larger long-term trials are needed to prove the efficacy of this treatment,” stated Dr.

Khoueir.

Founded in 1931 as the Harvey Cushing Society, the American Association of Neurological Surgeons (AANS) is a scientific and educational association with more than 7,200 members worldwide. The AANS is dedicated to advancing the specialty of neurological surgery in order to provide the highest quality of neurosurgical care to the public. All active members of the AANS are certified by the American Board of Neurological Surgery, the Royal College of Physicians and Surgeons (Neurosurgery) of Canada or the Mexican Council of Neurological Surgery, AC. Neurological surgery is the medical specialty concerned with the prevention, diagnosis, treatment and rehabilitation of disorders that affect the entire nervous system, including the spinal column, spinal cord, brain and peripheral nerves.

Member comments







Low back pain: the effects of hard and soft mattresses

03 Apr 2008

A study in the April 1 issue of Spine reports that for patients with low back pain, sleeping on softer types of beds that conform to the body may lead to improvements in pain and sleep. Contrary to what many people think, sleeping on a hard mattress may actually make pain worse, according to the new report by Dr. Kim Bergholdt and colleagues of Backcenter Funen in Ringe, Denmark.

One hundred sixty patients with chronic low back pain were randomly assigned to sleep on one of three different types of beds for one month: a waterbed, a body-conforming foam mattress, or a firm futon mattress (without springs).

Patients who slept on the waterbed or body-conforming foam mattress had small but significant reductions in back pain scores. Total sleep time was also better for patients assigned to the softer mattresses. Again, the differences were small—sleep time increased by less than an hour in both the waterbed and foam mattress groups.

In contrast, patients who slept on the firm futon mattress tended to have increased pain scores and decreased sleep time. This result was difficult to interpret, however, because several patients assigned to the firm mattress group dropped out of the study early. At least some of these patients thought the mattress was making their back pain worse.

Another complicating factor was that several patients dropped out of the study after learning they had been assigned to the waterbed group. Most of these patients had negative opinions about waterbeds despite never having tried one. None dropped out because they knew the waterbed would make their back pain worse.

Patients with increased sleep time tended to have reduced pain scores. It was unclear whether reduced pain led to increased sleep time or vice-versa.

Mattresses are often mentioned among the factors that may affect low back pain, especially for patients whose pain is worse in the morning. Only a few studies have addressed the effects of mattresses on back pain, with inconclusive results.

There are reasons to suspect that either a soft or firm mattresses might be better for patients with back pain. For example, a soft mattress might help to avoid stress on the spine by keeping the back in a neutral position, while a hard mattress might reduce twisting of the back.

The new results suggest that the waterbed and foam mattress do reduce pain and improve sleep for patients with chronic low back pain. The results are consistent with another recent study, which also found beneficial effects of softer mattresses.

The authors emphasize that the two soft mattresses studied conform to natural body curvatures. They bring the joints into intermediate positions, rather than just letting the body parts sink, which may put the joints into awkward or twisted positions. "Thus, body-conforming soft mattresses seem to have an advantage over hard mattresses," the researchers conclude.

"Probably they are also better than soft, worn-out spring mattresses, hammocks, and other soft types that do not conform to natural, intermediary positioned body curvatures."